Oleh:
Ahmad
Sobiyanto
NIM
1111032100027
A. Pendahuluan
Nichiren
Shōshū (日蓮正宗) adalah
sebuah aliran agama Buddha yang
berasal dari Jepang. Pendiri
ajaran ini, bernama Nichiren Daishonin, dianggap
oleh penganut aliran ini sebagai Sang Buddha pokok. Sekte ini
merupakan salah satu dari sekian banyak sekte Nichiren yang ada di Jepang.
Sekte Nichiren Shoshu ini berpusat di Taisekiji, Fujinomia, propinsi Shizuoka, Jepang.
Sekte ini juga menjadikan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan pewaris
Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, sebagai
pendiri sekte Nichiren Shoshu.
B. Sejarah Agama Buddha di Jepang
Agama Buddha
masuk ke Jepang diperkirakan 853 atau 552 M. Ketika sebuah kerajaan kecil di
Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di
samping membawa berbagai hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan
rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku
lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan dan terutama para dewa
mereka[1].
Tokoh utama
dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taisi (547-621
M) yang naik tahta pada 593 M., yang peranannya dalam agama Buddha dapat
disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menetapkan agama Buddha
sebagai agama negara, menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat
berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga hari ini. Ia
mengirimkan para ahli Jepang ke Korea dan Cina untuk mempelajari agama, seni
dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 607 M ia mendirikankuil-kuil Nara dan Haryuji
yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri hingga sekarang.
Akan tetapi
perkembang pesat agama Buddha terjadi pada periode Nara (710-784), terutama
karena banyaknya suku-suku berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang yang
memeluk agama tersebut. Para penguasa pada waktu itu umumnya beranggapan bahwa
agama Buddha dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat mereka.
Periode Nara juga ditandai dengan munculnya beberapa aliran dalam agama Buddha
di Jepang, baik yang besar maupun yang kecil, yang pada umumnya mengambil
bentuk Cina. Di antara aliran-aliran tersebut yang ada hingga sekarang adalah
aliran Hosso yang berpusat di Kofukuji dan Yakushiji, Kegon berpusat di Todaiji
dan aliran Ristsu yang berpusat di Toshodaiji.
Di masa
kekuasaan dinasti Heian (794-1185 M.) muncul usaha-usaha untuk memadukan
kepercayaan dan tradisi asli Jepang dengan agama Buddha, antara lain melalui
ajaran Saicho dan Kukai. Yang pertama, yang kemudian terkenal dengan sebutan
Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama Buddha adalah sama
dengan dewa-dewa dalam agama Shinto, yang disebut kami, sementara Kukai, yang selanjutnya terkenal dengan sebutan
Kobo Daishi, mengajarkan bahwa dewa tertinggi dalam agama Shinto adalah sama
dengan dewa tertinggi dalam agama Buddha sehingga tidak ada perbedaan antara
pemujaan terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap agama Shinto.[2]
Memasuki
abad ke-13 M. Beberapa aliran baru muncul di Jepang, sejalan dengan
perselisihan dan perebutan kekuasaan di antara para penguasa. Aliran-aliran
baru tersebut antara lain Zen, Amida (Tanah Suci) dan Nichiren Soshu. Aliran
Zen mempunyai jalur asal pada ajaran Boddhidharma di Cina dan diperkirakan
masuk ke Jepang pada abad ke-6 M.. Aliran ini bertujuan untuk memindahkan
pikiran Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan
bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh
karena itu aliran ini menekankan pada disiplin dalam melakukan samadi untuk
mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan erhadap ajaran juru
selamat. Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar yaitu Soto Zen, dengan
tokohnya Dogen, dan aliran Rinzai, dengan tokohnya Eisai (1141-1215). Aliran
yang tersebut akhir berkembang di kalangan militer dan golongan aristokrat
serta menjadi tulang punggung kelas penguasa dan militer, sementara yang
pertama lebih banyak dianut oleh kalangan petani dan bergerak dalam kegiatan
sosial, memiliki perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak. Karya
utama Dogen yaitu “Mata Hukum Sejati”[3]
ditulis dalam bahasa jepang sehingga semua orang dapat membacanya.
Aliran Amida
atau Tanah Suci, mengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah-istilah
yang sederhana, yaitu dengan percaya kepada Buddha secara mutlak dan dengan
menyebut Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak
pengikut di kalangan petani dan menjadi semacam agama messianis pada saat
terjadi kemelut sosial. Objek pemujaannya adalah patung Amida Buddha,
dilengkapi dengan patung bodhisatva Kwan On yang melambangkan kemurahan dan
patung Daiseishi sebagai lambang kebijaksanaan.
Aliran Nichiren Soshu didirikan oleh
Nichiren. Ajarannya bertujuan mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni
yang akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak
ritualisme dan sentimentalisme aliran Tanah Suci, melawan semua kesalahan,
agresif, patriotis tetapi eksklusif.[4]
C. Niciren Soshu
Salah satu sekte dalam agama Buddha yang
mengakui Nichiren Daisyonin sebagai pendirinya dan Nikko Syonin sebagai pewaris
hukumnya. Kuil pusat sekte ini terletak di Taisekiji di propinsi Syizuoka.
Tahun 1872 dalam usaha mempersatukan negeri untuk tujuan perluasan ekonomi dan
militer pemerintah Jepang mencoba untuk mengorganisasikan aliran-aliran agama
Buddha yang terdapat di Jepang ke dalam tujuh sekte, dan merencanakan semua
sekte yang mengakui Niciren sebagai pendirinya dilebur menjadi satu dengan
sekte Niciren Syu yang berpusat di Minobu. Niciin Syonin, Bhikku tertinggi
ke-54, menentang rencana ini. Sebagai gantinya, delapan kuil yang mengakui
Nikko Syonin dan murid-muridnya bersatu di tahun 1876 dan menyebut diri mereka
sekte Niciren kelompok Nikko. Akan tetapi karena beberapa anggota kelompok ini
mengakui doktrin yang amat berbeda dengan Taisekiji, maka tahun 1900 Taisekij
berdiri sendiri, mengambil nama sekte Niciren kelompok Fuji. Tahun 1912 mereka
berganti nama menjadi Nichiren Soshu. Sekitar 1940 sebelum Jepang ikut dalam
Perang Dunia II, pemeritah menginginkan agar semua sekte-sekte Nichiren
dijadikan satu dalam pengawasan militer. Komperensi antara Bhikku dan penganut
segera diadakan di Taisekiji dan memutuskan untuk menolak tuntutan itu. Sebagai
hasil dari perjuangan bersama itu akhirnya Nichiren Soshu diperbolehkan untuk
meneruskan kebebasannya untuk seterusnya. Sejak ada kebebasan beragama setelah
perang, sekte ini mempunyai kesempatan untuk maju dengan pesat. [5]
Niciren Sosyu mengajarkan bahwa semua orang
memiliki jiwa Buddha dan dapat mencapai kesempurnaan di dunia pada kehidupan
sekarang dengan jalan percaya pada Mandala Pusaka, Dai Gohonzon. Lebih jauh
lagi karena diri dan lingkungan hakekatnya tak terpisahkan, orang yang mencapai
ke-Buddhaan secara berkelangsungan mempengaruhi lingkungannya menjadi tanah
Buddha. Karena itu, Niciren Syosyu mengutamakan “Pertapaan untuk diri dan orang
lain” (Jigyo Keta), menunjukan pencapaian kesadaran untuk diri sendiri dan
penyelamatan orang lain, lingkungan dan dunia melalui proses kosenrufu, atau
suatu upaya penyebarluasan Hukum Sakti. Berbeda dengan sekte Niciren yang lain
yang hanya menghargai Sakyamuni sebagai pusaka pujaan dan Niciren Daisyonin
sebagai Boddhisatva Agung. Niciren Syosyu menghormati Daisyonin sebagai
perwujudan Buddha sejati yang muncul pada masa Mutakhir Dharma, dan Mandala
Pusaka Gohonzon yang ditulisnya sebagai pusaka pujaan sejati untuk umat manusia
di masa Mutakhir Dharma mencapai ke-Buddhaan. Sebagai tambahan, Niciren Syosyu
mendefinisikan ajaran Sakyamuni sebagai Buddhisme pemanenan kurnia dimana hanya
didapatkan bagi mereka yang telah menerima pembibitan kesadaran di masa lampau
dan Namyohorengekyo yang diajarkan oleh Daisyonin sebagai Buddhisme pembibitan
sejati pencapaian kesadaran Buddha dari seluruh umat manusia.[6]
D.
Tokoh
dan ajarannya
Dalam
Niciren Shosyu pewaris dari Hukum sejati diwariskan dari Niciren Daisyonin
kepada Nikko Syonin, dan secara ketat diturunkan pada Bhikku-bhikku tertinggi
berikutnya seperti tertera di bawah ini:
1. Niciren Daisyonin 35. Nicion Syonin
2. Nikko Syonin 36. Nikken Syonin
3. Nicimoku Syonin 37. Nippo Syonin
4. Nicido Syonin 38. Nittai Syonin
5. Nicigyo Syonin 39. Nicijun Syonin
6. Niciji Syonin 40. Nicinin Syonin
7. Nicia Syonin 41. Nicimon Syonin
8. Niciei Syonin 42. Nicigon Syonin
9. Niciu Syonin 43. Nisso Syonin
10. Nicijo Syonin 44. Nissen Syonin
11. Nittei Syonin 45. Nicirei Syonin
12. Nitcin Syonin 46. Nitcio Syonin
13. Niciin Syonin 47. Nissyu Syonin
14. Nissyu Syonin 48. Niciryo Syonin
15. Nissyo Syonin 49. Nisso Syonin
16. Niciju Syonin 50. Nicijo Syonin
17. Nissei Syonin 51. Nicieo Syonin
18. Niciei Syonin 52. Niciden Syonin
19. Nissyun Syonin 53. Nicijo Syonin
20. Nitten Syonin 54. Niciin Syonin
21. Nicinin Syonin 55. Nippu Syonin
22. Nissyun Syonin 56. Nicio Syonin
23. Nikkei Syonin 57. Nissyo Syonin
24. Niciei Syonin 58. Nitciu Syonin
25. Niciyu Syonin 59. Niciko Syonin
26. Nicikan Syonin 60. Nicikai Syonin
27. Niciyo Syonin 61. Niciryu Syonin
28. Nissyo Syonin 62. Nikkyo Syonin
29. Nitto Syonin 63. Niciman Syonin
30. Nitciu Syonin 64. Nissyo Syonin
31. Niciin Syonin 65. Nicijun Syonin
32. Nikkyo Syonin 66. Nittace Syonin
33. Nicigen Syonin 67. Nikken Syonin[7]
34. Nissyin Syonin
a. Tri Ratna Dalam Agama Buddha Niciren
Syosyu
Salah satu konsep terpenting dalam
Ajaran Agama Buddha adalah konsep Tri Ratna yakni: Buddha, Dharma dan Sangha.[8]
Ketiga disebut Ratna ataua Pusaka karena ketiganya menduduki tempat amat
terhormat dan dihargai. Pusaka Buddha bukanlah pusaka yang dimiliki oleh Sang
Buddha atau pusaka yang dihargai oleh Buddha, tetapi adalah Sang Buddha itu
sendiri. Kata Buddha menunjukkan seseorang yang mencapai kesempurnaan sebagai
seorang manusia, dengan Maitri karuna yang maha agung dan besar untuk
menyelamatkan penderitaan umat manusia, dan seseorang yang secara spiritual
telah membangkitkan Hukum Kejiwaan dan Hukum Alam semetsta. Oleh karena itu,
Buddha ditempatkan sebagai manusia yang paling dihargai dan dihormati.
“Dharma” berarti Hukum yang dibabarkan
oleh Sang Buddha, yang diwariskan untuk masa mendatang melalui kebijaksanaan
dan kekuatan-Nya. Dengan melaksanakan Hukum in, setiap manusia dapat mencapai
Kesadara Buddha. Karenanya, Dharma juga patut ditempatkan kedudukannya sebagai
Pusaka
“Sangha” adalaha sekelompok manusia yang
mewariskan semangat Sang Buddha, menjaga Dharma dan menyebarkannya ke seluruh
dunia dan untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu, untuk penyebarluasan,
melaksanakan dan mengajarkan Dharma dibutuhkan sumbangsih Sangha dengan
demikian, Sangha juga dikatakan sebagai pusaka ketiga yang tak ternilai
harganya.
Pada masa mutakhir Dharma ini, maka Tri
Ratna dalam Agama Buddha Niciren Soshu adalah Niciren Daisyonin (Buddha), Dai
Gohonzon (Dharma) dan Nikko Syonin (Sangh).
b. Tiga Hukum Rahasia Agung
Terdiri dati: Pusaka Pujaan yang sejati
(Jepang: Hon Mon No Honzon) ; mantera atau daimoku yang sejati (Honmon no
Daimoku) dan altar pemujaan yang sejati (Honmon no Kaidan)[9].
Ketiganya menunjukkan inti Agama Buddha Nichiren Daisyonin dan dijelaskan dalam
Ho On Syo (Surat Membalas Budi), San Dai Hiho Syo (Surat Perihal Tiga Hukum
Rahasia Agung) dan dalam Gosyo-gosyo lainnya.
Pada umumnya Agama Buddha menjelaskan
ketiga jenis pertapaan; Sila, Samadhi dan Prajna, yang merupakan usaha untuk
penyempurnaan diri. Sang Buddha Niciren Daisyonin mendefinisikan tiga jenis
pertapaan dalam Masa Mutakhir Dharma sebagai Tiga Hukum Rahasia Agung. Sila
sesuai dengan altar pemujaan sejati, samadhi dengan Pusaka pujaan yang sejati
(Gohonzon), sedang prajna dengan mantera atau daimoku yang sejati
(Nammyohorengekyo).
Pusaka pujaan yang sejati adalah Dai
Gohonzon yang diwujudkan oleh Niciren Daisyonin pada tangga 12 Oktober 1279
yang memungkinkan setiap orang untuk mencapai kesadaran Buddha. Mantera atau
daimoku yang sejati adalah Nammyohorengekyo, yang diucapkan dengan penuh
kepercayaan di muka pusaka pujaan; dan altar sejati adalah tempat dimana
seseorang menyebut Daiomoku (Nammyohorengekyo) di hadapan pusaka pujaan yang
sejati. Karena mantera Nammyohorengekyo
dipanjatkan di muka pusaka pujaan, dan altar didirikan untuk menyemayamkan
pusaka pujaan, maka pada akhirnya pusaka pujaan mencakupi ketiga Hukum Rahasia
Agung, sehingga dapat disebut juga sebagai Satu Hukum Rahasia Agung. Niciren
Daisyonin sendiri mewujudkan Mantera dan pusaka pujaan yang sejati. Beliau
mempercayakan tugas kepada murid-murid-Nya untuk mencapai perdamaian dunia dan
mendirikan altar sejati untuk pusat pemujaan bagi seluruh umat manusia.[10]
c. Taisekiji
Merupakan Kuil PusatNiciren Syosyu yang
terletak di Kota Fujinomya, daerah Shizuoka, di kaki gunung Fuji, didirikan
oleh Nikko Syonin, penerus Niciren Daisyonin dan merupakan Bikkhu Tertinggi
ke-2. Sesudah Sang Buddha Niciren Daisyonin wafat, Nikko Syonin tinggal di kuil
Kuon di Minobu sebagai Bhiku Tertinggi. Akan tetapi, karena tindakan
pemfitnahan Nakari Sanonaga, penguasa daerah Minobu, yang pernah menjadi murid
Niciren Daisyonin dan bahkan memintanya untuk berdam di sana, maka Nikko Syonin
meninggalkan Gunung Minobu pada musim semi tahun 1289. Pada tahun 1290 beliau
mendrikan sebuah kuil kecil yang bernama Dai-bo di Oishighara, di atas sebidang
tanah yang di sumbangkan untuknya oleh Nanjo Tokimitsu. Tanah sumbangan ini
adalah awal dari terbentuknya Kuil Pusat Taisekiji. Sesudah itu, banyak
kuil-kuil lain yang didirikan oleh murid-murid Nikko Syonin.[11]
Gohozo didirikan oleh Nichiu Syonin,
Bhikku Tertinggi ke sembilan. Dai Gohonzon disemayamkan di tempat tersebut dan
dipindahkan ke Hoan-den tahun 1955. Pintu Utama yang Pertama disebut Somon,
didirikan tahun 1522 oleh Nitchin Syonin, Bhikku tertinggi ke-21. Beliau juga
membangun kembali Hondo (Kuil Utama) dan Miei-do. Tahun 1632 Bhikku Tertinggi
ke-27, Nissei Syonin, membangun kembali Miei-do dengan dana yang disumbangkan
oleh Kyodai-in, isteri dari seorang tuan tanah di Propinsi Awa, Pulau Shikoku.
Tahun 1697 perpustakaan Sutra dibangun oleh Niciei Syonin, Bhikku tertinggi
ke-24. Gerbang rangkap tiga Taisekiji dibangun oleh Bhikku tertinggi ke-25,
Nichiyu Syonin, dengan dana dari Tennei-in, isteri Tokugawa Ienobu, Shogun
Tokugawa ke enam. Ia juga membangun pintu yang disebut Onimon (Pintu Raksasa)
atau Asahimon (Pintu Matahari Pagi). Tahun 1727 Josho-do dilengkapi oleh Bhikku
tertinggi ke-28, Nissho Syonin, sehubungan dengan janji yang dibuat oleh Bhikku
Tertinggi ke-26, Nichikan Syonin. 1749 pagoda lima tingkat ddirikan oleh Niciin
Syonin, Bhikku tertinggi ke-31. Dai-bo dan Kyakuden terbakar pada bulan Juni
1945 di akhir Perang Dunia II. Sesudah perang, banyak bangunan didirikan,
termasuk Hoan-Den, Dai-kodo, dan sejumlah kuil-kuil tempat tinggal dan tempat
untuk peziarah. Dai Kyakuden selesai dibangun pada tahun 1964. Oktober 1972,
Syohodo (Kuil Agung Utama) selesai dibangun untuk menyemayamkan Dai Gohonzon.[12]
d. Ajaran-ajaran dari Nichiren Daishonin
1. Nam-myoho-renge-kyo
Nam-myoho-renge-kyo berarti “Aku
mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan
kedalam dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung
ajaran Buddhisme yang paling luhur”.
Dengan
kata lain perkataan, kata-kata itu menyatakan pengabdian dirinya kepada
realitas hidup semesta-terhadap hidup yang ada dimana-mana dalam alam semesta.
Nichiren Daishonin berpendapat bahwa hanya bilamana manusia menjadi satu dengan
hidup dari alam semesta dia benar-benar mencapai kebahagiaan mutlak, yang tak
tergoncangkan (alam ke-Buddha-an).
2. Gohonzon
Untuk memberi manusia biasa suatu barang
pusat pemujaan yang jelas, Nichiren Daishonin menciptakan ‘Gohonzon’ diamanatkan
kepada setiap orang yang percaya pada Nichiren Daishonin dan ajaran-ajarannya
yang benar. Sebagai suatu benda pusat pemujaan bagi semua orang di mana saja,
dia mengukir Dai-Gohonzon Agung, yang kini ditempatkan di ruang utama Sho-Hondo
dari Diseki-ji, kuil utama Nichiren Shoshu. Siapa pun yang tawakal pada
Dai-Gohonzon dan mengucapkan Nam-myoho-renge-kyo kepadanya akan merasa roh
perorangannya bergabung dengan roh semesta. Nam-myoho-renge-kyo bukan
semata-mata bacaan; ini melibatkan doa-doa dan perbuatan-perbuatan pula.
3. Teori ‘Kaidan’
Berdasarkan sejarah, kaidan adalah suatu
balai Buddhis tempat para calon pendeta mengangkat nadar keagamaan. Dalam agama
Buddhisme Nichiren Daishonin, ini mempunyai arti lebih banyak, merupakan tempat
pusat pemujaan di mana semua orang dapat menyatakan kebulatan tekad mereka
untuk mengubah hidup mereka untuk perbaikan mereka sendri dan seluruh umat
manusia dan membersihkan diri mereka dari karma yang menyedihkan melalui
kekuatan Dai-Gohonzon yang maha besar.[13]
Falsafah Buddhisme Nichiren; Nichiren Daisonin
memperkembangkan teori-teori;
1.
Tentang
hubungan antara budi dan zat dalam jasad hidup dan menghasilkan istilah-istilah
khas untuk menerangkan teorinya. Kata Shikiko
berarti semua zat atau semua fenomena fisik. Kata shimpo berarti kerja pikiran atau cara berpikir. Kedua hal itu
tidak dapat dipisahkan atau funi. Shikishin: gabungan dari bagian-bagian
pertama dari Shiki-ho dan Shim-po funi, karena itu berarti
keutuhan dari budi dan zat. Teori ini mencapai perkembangannya yang paling
halus berhubungan dengan gagasan bahwa jiwa hidup meresapi segala sesuatu.
2.
Tentang
hubungan antara lingkungan dan jasad. Untuk mengerti ini perlu mengetahui
dahulu istilah Shoho berarti pokok,
kedudukan subyektif, atau jasad hidup yang merupakan pokok. Eho adalah obyek, kedudukan obyektif
atau lingkungan; ialah, obyek tanpa mana subyek Shoho tak akan dapat merupakan shoho.
Shoho dan Eho adalah dua dan meskipun demikian bukanlah dua; keduanya adalah
terpisah namun tak dapat dipisahkan. Jika Shoho
adalah badan, eho adalah
bayangan. Gagasan akan suatu dunia yang sama sekali tak bernyawa adalah dua
segi dari suatu barang. Teori Nichiren mengajarkan bahwa shoho dan eho tidak
dapat dipisahkan karena keduanya adalah jalan bagaimana kehidupan pokok
menunjukkan dirinya.
Lingkungan
atau eho, mengandung syarat-syarat yang membawa hidup ke dalam perwujudan yang
diberi sifat khusus dalam bentuk shoho itu. Dengan lain perkataan lingkungan
(eho) dan bentuk kehidupan (shoho) karena itu tidak dapat dianggap dua barang
terpisah oleh sebab jiwa hidup hadr di mana-mana di seluruh alam semesta dan
merupakan zat dasar utama dari keduanya. Nichiren Daishonin menjelaskan tentang
alam semesta sebagai diresapi dengan hidup telah berabad-abad mendahului
pengetahuan ilmiah; selanjutnya penjelasan itu lama berselang mengajar
bagaimana manusia harus hidup selaras dengan lingkungannya, yang pada akhirnya
adalah suatu bagian dari kehidupan semesta yang sama dari mana manusia pula
merupakan suatu manifestasi. [14]
3.
Nichiren
mengajarkan bahwa roh semesta meresapi segala sesuatu dalam alam semesta.
Buddhisme tidak membuat perbedaan antara benda bernyawa dan benda tidak
bernyawa tetapi membagi segala sesuatu di dalam alam semesta ke dalam
wujud-wujud perasaan (ujo) dan tanpa rasa (hijo). Ujo berarti wujud yang
mempunyai perasaan dan kesadaran; hijo berarti wujud-wujud tak mempunyai
perasaan dan kesadaran. Ujo dapat mengandung hijo; ialah makhluk-makhluk
perasaan mengandung unsur-unsur tanpa rasa. Dan hijo dapat menampilkan sifat
perasa; meskipun emosi-emosi dan kesadaran masih dalam keadaan tidur, apabila
diberi syarat yang tepat, makhluk-makhluk tanpa rasa dapat berkembang menjadi
perasa. Wujud hayati dan nirhayati tidak lebih dari sementara, karena roh yang
sama hadir di dalam perwujudan dalam kedua golongan. Bentuk hayati menampakkan
hidup sedang berjalan, bentuk nirhayati menggambarkannya dalam keadaan latent.
Kesadaran
Buddhist akan peresapan roh semesta pada semua perwujudan baik perasa maupun
tanpa rasa, menuju ke kesadaran akan kekekalan hidup.
4.
Nichiren
juga menguraikan tentang kesadaran manusia melihat dunia dengan berbagai cara
yang dapat diringkaskan dalam tiga golongan pokok; 1. Pengamatan akan
bentuk-bentuk sementara atau fenomena material (ketail), 2. Pengamatan akan
kehampaan atau fenomena spiritual (kutai), 3. Pengamatan akan sifat hakiki dari
benda-benda (chutai), yang menampakkan dirinya dalam kedua bentuk lainnya. In
dikenal dengan teori santai. Ku dari
Kutai adalah padanan dari kata Sunyata (skt.).
pendek kata Ku berarti dunia
kebenaran yang mutlak, tak terbatas yang tercapai dengan melampaui pandangan
sesuatu yang relatif, hipotesis, konseptual, dan semua gagasan tentang
eksistensi dan noneksistensi. Masing-masing dari ketiga cara itu mengandung
kedua lainnya. Istilah en’yu-no-santai atau
“jenis-jenis pengamatan, yang saling mengisi dan melengkapi” secara ringkas
menyatakan persatuan ini. Teori ini diperkembangkan oleh Bhiksu Chih-i
(538-597) pendiri sekte T’ien-t’ai Buddhisme d China. Di Jepang sekte Tendai
(T’ien-t’ai) ddirikan oleh Bhiksu Saicho (767-822).[15]
5.
Ajaran
Nichiren Daishonin juga berdasarkan dari Sekte T’ien-t’ai yakni Ichinen-Sanzen yang berarti secara
harfiah ‘tiga ribu gagasan dalam satu saat tunggal’. Kata Ichinen berarti mikrokosmos. Kata sanzen dapat menunjang kepada banyak aspek yang berlainan yang
dapat diambil oleh hidup semesta, ialah totalitas dari semua fenomena. Sanzen sebagai makrokosmos.
Apa
itu tiga ribu? Penjelasannya ialah terdapat 10 alam eksistensi, yang harus
dilalui makhluk-makhluk hidup di mana mereka menempatkan drinya. Tiap-tiap alam
mengandung kesemuanya dari 10 alam dalam dirinya, jadi seluruhnya menjadi 100 alam.
Terdapat 10 faktor pokok yang memberi ciri kepada semua barang (ju-myoze). Jadi 100 alam dikalikan 10
faktor menjadi 1000 alam. Dan setiap makhluk hidup dapat berhubungan dengan 3
lingkungan. Jadi jumlah alam eksistensi adalah 3000. Istilah ichinen sanzen berarti jiwa semesta yang
terdapat dalam satu saat pikiran tunggal (ichinen) mengandung semua alam yang
mungkin ada dalam alam semesta dengan cara ini atau saling berkaitan itu;
mikrokosmos memenuhi makrokosmos, dan makrokosmos adalah tersirat dalam mikrokosmos.
Sepuluh
Alam Hidup:
1. Jigoku-kai (Neraka; lam derita),
2. Gai-kai (kelobaan; alam yang menguasai
orang dengan kerakusan),
3. Chikusho-kai (kebinatangan; alam yang
menyebabkan orang dikuasai oleh naluri-nalurinya),
4. Shura (keberangan; alam yang menguasai
orang dengan sifat persaingan),
5. Nin-kai (kemanusiaan atau ketenteraman;
keadaan biasa dari hidup),
6. Ten-kai (surga atau sukacita; alam
kebahagiaan),
7. Shomon-kai (kesarjanaan; alam orang yang
merasakan kebahagiaan berilmu),
8. Engaku-kai (penciptaan; alam kejiwaan di
mana orang menghargai kesenangan penciptaan),
9. Bosatsu-kai (bodhisattva; alam yang
menginginkan kebahagiaan bagi orang lain),
10. Bukkai (cita Buddha; alam ke-Buddha-an).[16]
Kesepuluh
Alam tersebut mengandung semua alam (10 alam) lainnya dalam dirinya. Ini
berarti bahwa setiap alam, disamping semua alam lainnya mengandung alam
ke-Buddha-an. Dengan kata lain bahwa semua orang dari semua jenis dan derajat
mempunyai benih-benih Buddha untuk mencapai Cita Buddha. Jadi jumlah Alam 10 x
10 = 100 Alam.
Sepuluh
faktor (syarat bereksistensi bagi semua makhluk dan tersirat pada semua benda);
-
Faktor 1. Nyoze-so (bentuk),
-
Faktor 2. Nyoze-sho (naluri),
-
Faktor 3. Nyoze-tai (wujud),
-
Faktor 4. Nyoze-riki (daya),
-
Faktor 5. Nyoze-sa (kegiatan),
-
Faktor 6. Nyoze-in (faktor penyebab dalam),
-
Faktor 7. Nyoze-en (faktor penyebab luar),
-
Faktor 8. Nyoze-ka (efek terpendam; latent),
-
Faktor 9. Nyoze-ho (efek nyata),
-
Faktor 10. Nyoze-honmatsu-kukyoto (perpaduan
dari sembilan faktor lainnya).
Faktor
1, 2, 3, melukiskan realitas-realitas jasmaniah dan rohaniah dari hidup. Faktor
4 sampai dengan 10 menjelaskan cara bagaimana hidup itu berlangsung.
Tiga
lingkungan/dunia (san-ken):
1. Go-on Seken (dunia kesatuan; lingkungan
Panca-Skandha),
2. Shujo-Seken (dunia dari makhluk hidup),
3. Kokudo-Seken (dunia dari lingkungan).
Jadi
10 Alam Hidup x 10 alam lainnya dalam dirinya x 10 faktor x 3 lingkungan/dunia
= 3000 dari alam-alam ini ada pada satu saat eksistensi. Oleh karena itu setiap
individu akan mampu untuk mencapai ke-Buddha-an.[17]
Daftar
Pustaka
Edward Conze, Buddhism-A Short History, Jakarta:
Karania (2010)
Majelis Agama Buddha Niciren
Syosyu Indonesia, Sejarah dan
Perkembangannya Agama Buddha
Niciren Syosyu di Indonesia
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta (IAIN
Sunan Kalijaga Press: 1988)
Shoryo Tarabini, Perbedaan dan Persamaan Antara Nichiren Shu,
Nichiren Shoshu dan Soka
Gakkai, Perhimpunan Buddhis Nichiren Shu Hokekyo Indonesia
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia
[1] Ali Mukti, Agama-Agama Dunia,
Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988) cet. Pertama hal. 140-142
[2] Ali Mukti, Agama-Agama Dunia,
Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988) cet. Pertama hal. 141
[3] Conze Edward, Buddhism-A Short
History, Jakarta: Karania (2010) cet. 1 hal. 157
[4] Ali Mukti, Agama-Agama Dunia,
Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988) cet. Pertama hal. 142
[5] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal.
20
[6] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal.
21
[7] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal.
22
[8] Tarabini Shoryo, Perbedaan dan
Persamaan Antara Nichiren Shu, Nichiren Shoshu dan Soka Gakkai, Perhimpunan
Buddhis Nichiren Shu Hokekyo Indonesia, hal 5
[9] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal.
23
[10] Ibid hal. 23
[11] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal.
24
[12] Ibid. Hal. 24
[13] T Suwarto, Buddha Dharma
Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 522.
[14] T Suwarto, Buddha Dharma
Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 525
[15] T Suwarto, Buddha Dharma
Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 525
[16] T Suwarto, Buddha Dharma
Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 526
[17] T Suwarto, Buddha Dharma
Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 527
0 komentar:
Posting Komentar