(SUTRA PITAKA,
VINAYA PITAKA, ABIDHARMA PITAKA
DAN
BAGIAN-BAGIANNYA)
Oleh :
Dede Ardi
Hikmatullah
NIM :
1111032100037
A.
PENDAHULUAN
Setiap agama pasti memiliki sesuatu yang dikategorikan sebagai ‘kitab
suci’. Kitab suci merupakan salah satu unsur penting di dalam sebuah agama. Karena
dari kitab suci itulah kita dapat mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan
agama yang bersangkutan, seperti konsep ketuhanan, ajaran, ritual-ritual
peribadatan, hukum dan peraturan, dan banyak lagi yang lainnya. Selain sebagai
unsur, kitab suci juga dapat dikatakan sebagai ‘jendela’ yang bisa digunakan
untuk melihat lebih jauh sebuah agama. Banyak ahli yang dapat mengetahui dan
memahami sebuah agama secara mendalam hanya dengan mengkaji kitab sucinya. Dari
sini kita bisa melihat betapa pentingnya peran sebuah kitab suci dalam sebuah
agama.
Terlepas dari benar atau salahnya suatu hal yang terdapat di dalam
sebuah kitab suci, kita tidak bisa memungkiri bahwa dari situlah sebenarnya
agama terbentuk. Permasalahan mengenai suatu kitab suci itu merupakan ‘wahyu’
Tuhan atau hanya ‘buatan’ manusia, tidaklah seharusnya menjadi persoalan yang
harus kita kaji. Karena terkadang masing-masing agama tertentu memiliki
penjelasan tertentu berkaitan dengan pengertian kitab suci tersebut. Hal ini
menyebabkan pengertian kitab suci menurut agama yang satu berbeda dengan
pengertian kitab suci menurut agama yang lain.
Sebagai contoh, kitab suci agama Buddha. Dalam agama Buddha tidak
ada pengklaiman bahwa kitab suci mereka merupakan ‘wahyu’ Tuhan, karena agama
Buddha sendiri tidak secara khusus membahas dan mengajarkan konsep ketuhanan. Dalam
agama Buddha hanya diajarkan bahwa semua yang terdapat dalam kitab suci mereka
merupakan perkataan-perkataan dari sang Buddha Gautama yang berbentuk khotbah, keterangan,
peraturan, syair, percakapan sang Buddha dengan siswanya, dan lain-lain. Sang
Buddha sendiri hanya seorang manusia yang kemudian mendapatkan ‘pencerahan’,
sehingga menjadi suci. Perkataan-perkataan yang dianggap suci ini kemudian
dikumpulkan dan dijadikan kitab suci.
Pembentukan kitab suci ini tidaklah singkat. Perkataan-perkataan
tersebut tentu tidak langsung berbentuk tulisan. Karena sekitar empat abad,
agama Buddha hidup dari ‘tradisi’ yang diteruskan secara lisan oleh pemimpin-pemimpin
agama Buddha yang hidup pada abad-abad
pertama yang kemungkinan merupakan siswa dan pengikut sang Buddha. Kemudian
dilakukanlah pengumpulan-pengumpulan tradisi yang diteruskan secara lisan tadi,
seperti khotbah-khotbah, kata-kata mutiara, syair, cerita-cerita,
peraturan-peraturan, dan lain-lain. Pengumpulan tersebut kemudian dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yang dikenal sebagai ‘pitaka’, yang secara bahasa berarti
‘keranjang’. Tiga kelompok pitaka yang berhasil dikumpul itu terdiri
dari: Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau
Abbidhamma Pitaka[1].
Ketiga ‘pitaka’ inilah yang mereka klaim sebagai kitab suci yang kemudian
disebut “Tripitaka”.
Memang ada beberapa poin utama yang seharusnya kita pahami mengenai
kitab suci Tripitaka ini, seperti pengertiannya, sejarah penulisannya,
kanonisasinya, serta penjelasan mengenai bagian-bagian dari Tripitaka itu
sendiri. Namun karena keterbatasan, makalah ini hanya akan membahas mengenai
pembagian Tripitaka dan penjelasannya.
B.
KITAB SUCI
TRIPITAKA
Ajaran
agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah,
keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha
dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya
tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata
dan komentar-komentar dari para siswanya[2].
Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar
yang dikenal dengan ‘pitaka’ (keranjang), yaitu Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka,
Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka.
a.
Sutra Pitaka
Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti
sederhana yaitu ‘benang’. Benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas
atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Setiap khotbah
Hyang Buddha seperti kata-kata yang dirangkai menjadi satu dengan indah dan
satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tidak acak-acakan serta tidak saling
bertentangan, oleh sebab itu khotbah Hyang Buddha disebut ‘sutra’[3].
Sutra-sutra itu dikumpulkan dan disusun menjadi satu disebut Sutra Pitaka.
Sutra Pittaka sendiri berisi dharma (dalam bahasa Pali: dhamma)
atau ajaran Buddha kepada muridnya[4].
Kitab Sutra Pitaka juga memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna
bagi para bhikku atau biksu dan pengikut yang lain.[5] Kitab
ini terdiri atas lima 'kumpulan'
(nikaya) atau buku, yaitu:[6]
- Dighanikaya, Dighanikaya terdiri dari 34 sutra panjang terbagi menjadi tiga vagga :
Sîlakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta
yang terkenal ialah : Brahmajala Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah),
Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigalovada
Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat
berumah tangga), Mahasatipatthana Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk
meditasi Pandangan Terang, Vipassana), Mahaparinibbana Sutta (kisah mengenai
hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama)
- Majjhimanikaya, merupakan
buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri
atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa
terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta
di antaranya ialah : Ratthapala Sutta, Vasettha Sutta, Angulimala Sutta,
Anapanasati Sutta, Kayagatasati Sutta dan sebagainya.
- Angutaranikaya, merupakan
buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipata (bagian) dan
meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk
memudahkan pengingatan.
- Samyuttanikaya, merupakan
buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi
menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
- Khuddakanikaya, terdiri atas 15 kitab.
a. Khuddakapatha, berisi empat teks: Saranattaya,
Dasasikkhapada, Dvattimsakara, Kumarapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana,
Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.
b. Dhammapada, terdiri
atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
c. Udana, merupakan
kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini
memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.
d. Itivuttaka, berisi
110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagava
(demikianlah sabda Sang Bhagava).
e. Sutta Nipata, terdiri
atas lima vagga : Uraga, Cûla, Maha, Atthaka dan Parayana Vagga. Empat vagga
pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam
belas sutta.
f. Vimanavatthu, menerangkan
keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui
perbuatan-perbuatan berjasa.
g. Petavatthu, merupakan
kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari
perbuatan-perbuatan tidak baik.
h. Theragatha, kumpulan
syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa
syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang
diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.
i. Therigatha, buku
yang serupa dengan Theragatha yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri
semasa hidup Sang Buddha.
j. Jataka, berisi
cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu.
k. Niddesa, terbagi
menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Maha-Niddesa. Culla-Niddesa berisi
komentar atas Khaggavisana Sutta yang terdapat dalam Parayana Vagga dari Sutta
Nipata; sedang Maha-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam
Atthaka Vagga dari Sutta Nipata.
l. Patisambhidamagga, berisi uraian skolastik tentang jalan
untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahavagga,
Yuganaddhavagga dan Paññavagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (katha).
m. Apadana, berisi
riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang
semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri
atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan
Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyapitaka, berisi
cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam
bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 paramî yang dijalankan oleh
Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariya.
Kitab
Sutra Pitaka ini juga tidak hanya memuat ucapan-ucapan Buddha Gautama saja
melainkan ucapan para thera semasa hidupnya, dan juga riwayat hidup dari
para bhikku dan bhikkuni. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah
kitab Dhammapada yang mengutarakan peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan Buddha dan cara yang diajarkannya untuk menyembuhkan penyakit yang
terdapat dalam diri manusia. Buku ini terdiri atas 423 syair dan sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Selain Dhammapada juga ada kitab Udana
yang berisi ucapan-ucapan Buddha yang disampaikan pada berbagai kesempatan, theragata
yang merupakan kumpulan syair yang disusun oleh para thera semasa Buddha
masih hidup. Beberapa syair berisi riwayat hidup para thera, dan lainnya
berisi pujian yang diucapkan para thera atas pembebasan yang telah
mereka capai. Riwayat hidup Buddha yang terdahulu dan kehidupan dari 25 Buddha
lainnya juga diceritakan dalam Sutranikaya ini, terutama kitab-kitab Jataka,
Apadana, Buddhavamsa, dan Cariya Pitaka.[7]
b.
Vinaya Pitaka
Winaya
Pittaka berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha
atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib,
dan sebagainya[8].
Selain itu, kitab suci Vinaya Pitaka ini juga berisi peraturan-peraturan bagi
para Bhikku dan Bhikkuni.[9] dan terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan
Parivawa[10].
- Kitab Sutra Vibanga berisi
peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227
peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat
pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari sangha
dan tidak dapat menjadi bhikkhu
lagi seumur hidup. Keempat
pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau
menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar
tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang
dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang
lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan
yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
- Kitab Khandaka terbagi
atas Mahavagga dan Cullavagga. Kitab Mahavagga berisi peraturan-peraturan dan
uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan
purnama dan bulan baru di mana dibacakan Patimokkha (peraturan disiplin bagi
para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa),
upacara pada akhir vassa (pavarana), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina
setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang
tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha),
dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan. Sedangkan Kitab Cullavagga berisi
peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara
penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan
pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang
timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah,
menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai
perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan
calon bhikkhu (samanera), pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha,
penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama
di Rajagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali
- Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan Vinaya yang
disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
Skema umum isi
Vinaya Pitaka[11]:
- Bagian yang berhubungan
dengan Pratimoksa atau Patimokha, yaitu peraturan-peraturan untuk para biksu
atau bikkhu yang dinamakan ‘bagian bhikku’ (bhikku vibhanga).
- Bagian yang sama untuk para bhikkuni.
- Suatu bagian yang dinamakan ‘khandhaka’ (kelompok), tiap-tiap
kelompok berhubungan dengan suatu aspek khusus mengenai kehidupan dari sangha,
seperti pentahbisan, upasattha, memenuhi ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan pakaian, jubah, obat-obatan, makanan, tempat tinggal, dan
lain sebagainya.
c.
Abbidharma
Pitaka
Abidharma atau abhidhamma adalah susunan ceramah dan perkembangan
logika tentang dharma dari ajaran Hyang Buddha, membahas filsafat dan
metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata Buddha Dharma,
dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan
suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau
sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan
Abidharma Pitaka[12].
Sehingga Abbidharma Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat
dan tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain
sebagainya[13].
Abbidharma
Pitaka juga berisi uraian filsafat Buddha-dharma yang disusun
secara analitis dan mencakup berbagai bidang seperti ilmu jiwa, sastra, logika,
etika, dan metafisika. Kitab ini terdiri dari 7 buah buku, yaitu:
Dhammasangani, Vibhanga, Dathukatha, Puggalapannatti, Kathavatthu, Yamaka, dan
Patthana. Berbeda dengan kitab Sutra Pitaka dan Vinaya Pitaka yang menggunakan
bahasa naratif, sederhana dan mudah dimengerti umum, gaya bahasa kitab
Abbidharma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis[14]. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku
(pakarana), yaitu :
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat
dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam
buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan
bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhajaniya,
Abhidhannabhajaniya dan Pññapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhatukatha, terutama membicarakan mengenai
unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak
manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok
satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikaya.
5. Kathavatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang
merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha) dan sanggahan terhadap
pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal
yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang
disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya,
Citta, Dhamma dan Indriya.
7. Patthana, menerangkan mengenai
"sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya
(hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
Namun,
selain pengelompokan di atas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu kitab-kitab Sutra dan kitab-kitab Sastra. Kitab Sutra
adalah kitab-kitab yang dipandang berisi
ucapan Buddha sendiri meskipun ditulis jauh sesudah ia meninggal dunia,
sedangkan kitab Sastra adalah uraian-uraian yang ditulis oleh para tokoh yang
ternama. Uraian-uraian tersebut biasanya disusun secara sistematis[15].
Menurut
aliran Hinayana yang dianggap sebagai kitab-kitab Sutra ialah kitab-kitab yang
dulu dikumpulkan pada Muktamar Buddhis pertama, sekitar tahun 383 S.M. Dan
semua kitab yang muncul setelah itu tidak diakui keasliannya. Namun, berbeda
dengan Hinayana, aliran Mahayana berpendapat bahwa kitab-kitab Sutra yang
muncul setelah Muktamar pertama pun dipandang asli dan diyakini diucapkan oleh
sang Buddha sendiri.
Dengan
demikian, berkaitan dengan kitab suci
Tripitaka yang merupakan sumber ajaran agama Buddha seperti yang telah
diterangkan di atas, ada dua pandangan
yang beda, yakni antara golongan Theravada dan Mahayana. Golongan pertama
menganggap bahwa kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada Pasamuan Agung yang
pertama tahun 483 S.M. saja yang dapat dianggap sebagai ajaran yang diajarkan
sendiri oleh Buddha, sedangkan golongan Mahayana selain menerima Tripitaka
sebagai sumber ajarannya juga menjadikan kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai
sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha,
Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhautpada, Saddharmapundarika,
Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain-lain[16].
C.
PENUTUP
Dari paparan di atas, sekiranya teranglah bahwa memang suatu agama
akan memiliki pandangan khusus mengenai kitab sucinya. Pandangan itu memang
tidak akan sama, namun demikianlah kitab suci sebagai unsur penting agama
ditempatkan dalam agama. Agama Buddha dengan pandangan sendiri, menempatkan
Tripitaka sebagai kitab suci yang didalamnya memuat ‘perkataan-perkataan’ sang
Buddha Gautama di tempatkan pada kedudukan khusus. Kitab suci ini memang
memiliki sejarah yang tidak singkat, di mulai dengan di hafal secara lisan oleh
siswa-siwa dan pengikut sang Buddha, dikumpulkan oleh para pemuka-pemuka agama
saat itu, ditulis dan dibentuk sehingga menjadi sebuah ‘kitab’, dan selanjutnya
kemudian di kanosisasikan.
Kitab suci Tripitaka milik agama Buddha ini tidak serumit seperti
halnya kitab suci milik agama Hindu. Tripitaka hanya terdiri dari tiga kelompok
-yang disebut ‘keranjang’ (pitaka)- yang didalamnya juga terbagi lagi ke dalam
bagian-bagian yang lebih spesifik.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 1983. Antropologi
Agama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hadiwijono, Harun. 2010. Agama
Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Romdhon, dkk. 1988. Agama-Agama
di Dunia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
T., Suwarto. 1995. Buddha Dharma
Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Www.google.com
[1]
Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2010), h. 63
[2]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, (Jakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988), h. 112
[3]
Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. (Palembang: Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 844
[4]
Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[5]
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1983), h. 215
[6]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[7] Romdhon,
dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[8] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha. h. 63
[9] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, h.214
[10]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[11] Suwarto
T., Buddha Dharma Mahayana. h. 843
[12] Suwarto
T., Buddha Dharma Mahayana. h. 844
[13] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[14]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[15] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 64
[16]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
0 komentar:
Posting Komentar