Ajaran tentang Sangha (Tingkat Kesucian, Kedudukan Sangha)


Oleh:
Mylinda Chairunissa (1111032100019)
Perbandingan Agama _ A




A.    Pendahuluan
Agama Budha disebut mempunyai pengaruh besar di Indonesia sebab agama budha merupakan agama yang paling awal tersebar di Indonesia setelah agama hindhu. Agama budha muncul sekitar abad ke 6 SM,sebagai reaksi terhadap agama hindu yang dianggap terlalu kaku. Istilah Budha berarti “Budhh” yang artinya bangkit, dan kata kerja “Bujjhati” yang berarti memperoleh pencerahan.
Berbeda dari agama yang lainnya agama Budha lebih mengutamakan penganutnya untuk berbuat (karma) membebaskan diri masing-masing dari dukkha untuk mencapai nirwana. Umat Budha tidak memerlukan upacara persembahan atau pemujaan kepada para Dewa (Tuhan) tetapi mereka cukup melakukan Hasta Arya Marga. Namun dilihat dari segi kelembagaan umat Budha dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok Wihara (Bihara) atau Sangha dan kelompok penganut agama yang awam.[1]

B.     Tingkat kesucian, kedudukan Sangha
Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak dapat dipisah-pisahkan dalam pembahasannya. Jadi, kalau ada guru, maka harus ada ajaran dan juga harus ada siswa yang berhasil untuk membuktikan kebenaran ajaran sang guru tersebut. Oleh sebab itu, ketiga hal ini saling berkaitan. Dalam Khuddakanikaya, Khuddakapatha, dijelaskan beberapa perumpamaan dari Tiratana di antaranya yaitu:
1.
Dokter
Obat
Pasien yang sembuh
2.
Matahari
Sinar
Bumi yang terkena sinar
3.
Sopir kapal
Kapal
Penumpang yang sampai tujuan
4.
Penunjuk harta karun
Peta
Orang yang menemukan harta
5.
Busur panah
Anak panah
Sasaran yang terkena anak panah
BUDDHA                          DHAMMA                    SANGHA  






Secara kelembagaan umat Budha dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat kewiharaan atau sangha dan kelompok masyarakat awam. Kelompok pertama terdiri dari Bhikkhu, Bhikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak menjalani hidup keluarga. Kelompok masyarakat awam terdiri dari Upasaka dan Upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Budha, dharma dan sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hidup berumah tangga.[2]
Pada saat itu ada enam puluh orang siswa Arahat di dunia. Dengan Para suci ini sebagai inti, Sang Budha mendirikan satu kelompok silibat yang demokratis dalam peraturan dan pemerataan dalam pembagian. Anggota semula dari masyarakat yang sangat terpandang dan semua terpelajar serta kaya, tetapi persaudaraan para siswa terbuka untuk semua, tidak memandang kasta, kelas atau golongan. Baik muda maupun tua, berasal dari semua kasta, bebas memasuki Sangha dan hidup sebagai saudara dalam satu keluarga tanpa perbedaan. [3] dengan enam puluh Arahat, sebagai utusan Kesunyataan yang baik, Sang Budha memutuskan untuk memperkenalkan ajaran Dhamma mulia Beliau, membeberkan ajaran hanya untuk mereka yang bermaksut untuk mendengarkannya.
Sang Budha menyadari sulitnya menjalankan Delapan Ruas Jalan Suci seraya memelihara kehidupan keluarga, maka beliau membentuk komunitas egaliter, Sangha yang mula-mula hanya terdiri dari bhikkhu, tetapi kemudian juga beranggotakan para bhikkhuni. Dengan hidup didalam suatu komunitas, para calon anggota sangha akan saling mendukung dan melihat betapa tempat pengajaran Dharma itu disampaikan ke berbagai generasi pencarian kebenaran. Sangha merujuk pada aturan para bhikkhu dan anggota kaum awam. Bhikkhu pertama ditahbiskan oleh Sang Budha, tetapi dengan makin banyaknya golongan, para bhikkhu bisa menerima anggota baru.
Sang Budha menjelaskan rincian mengenai Kesunyataan Mulia yang keempat yang kemudian disebut dengan Delapan Ruas Jalan Suci ini. Semua anggota baru melakukan suatu deklarasi yang dikenal sebagai Tiga Permata Agama Budha (atau Tri-Ratna), yakni deklarasi yang dinyatakan oleh semua umat Budha hingga saat ini.
1.      Aku berlindung kepada Budha (sebagai bukti bahwa pembebasan mengakhiri penderitaan)
2.      Aku berlindung kepada Dharma (untuk pengetahuan dan pengertian mengenai hukum kosmis)
3.      Aku berlindung kepada Sangha (untuk mendapatkan dukungan praktis dan spiritual)

Pada mulanya sang Budha tidak membuat aturan yang tegas untuk Sangha. Beliau hanya sekedar meminta agar anggota-anggotanya berjanji untuk menjalani hidup yang etis. Berbagai aturan rincian mengenai sangha yang masih ada dalam teks Vinaya Pitaka mencakup semua aspek keberadaan biara, terutama hubungannya dengan anggota lain di dalam komunitas dan populasi kaum awam yang ditemui oleh bhikku dan bhikkuni ketika mengumpulkan sumbangan berupa makanan sehari-hari. [4]
Etika Budhis itu ketat. Pikiran, ucapan, atau perbuatan apa pun yang menyakiti makhluk hidup lainnya akan menimbulkan bencana bagi pemeluknya sesuai dengan hukum karma, sehingga para bhikkhu dan bhikkhuni biasanya adalah vegetarian. Para bhikku tidur di tempat tisur yang sederhana agar tidak terlalu kekenyangan atau terlalu sedikit menikmati kenyamanan dan kepemilikan pun dibatasi hingga hanya berupa hal-hal yang hakiki. Dengan memiliki sesuatu secara berlebihan berarti mencuri dari orang lain yang mungkin lebih membutuhkan.
Sangha adalah bentuk masyarakat keagamaan yang terbuka bagi setiap umat untuk masuk dan bergabung ke dalamnya, dengan melalui tahap-tahab tertentu, baik pria ataupun wanita. Seseorang yang masuk dan bergabung ke dalam sangha berarti akan hidup dalam ‘Wihara’(biara) tanpa lagi memiliki rumah tempat kediaman dan hidup sebagai petapa. 
Sangha ialah persaudaraan para bhiksu, bhiksuni(pada waktu permulaan dibentuk). Kemudian, ketika agama Budha Mahayana berkambang para anggotanya selain para bhiksu, bhiksuni, dan juga para umat awam yang telah upasaka dan upasika dengan bertekat pada kenyataannya tindak-tanduknya untuk menjadi seorang Bodhisattava, menerima dan memperaktekkan pancasila Budhis ataukah Bodhisattva Sila.
Arya Sangha semata-mata terdiri dari para Bodhisattva yang telah memasuki tingkat kedua atau lebih mengenai jalan penerangan atau penceraha tertinggi. Sebagian dari Bodhisattva mungkin kehidupannya sebagai bhiksu dan lainnya sebagai umat awam. [5]
Sangha adalah perhimpunan para bhikkhu. Kata Sangha bukan berarti semata-mata sebagai kelompok para bhikkhu, namun lebih berarti sebagai para bhikkhu yang berkumpul untuk menjalankan suatu tugas kegiatan tertentu.
Untuk melakukan suatu kegiatan tertentu maka Sangha baru sah jika minimal dihadiri oleh empat orang bhikkhu yang disebut catuvagga. Jadi kalau hanya ada tiga orang bhikkhu, maka itu bukan Sangha. Khusus untuk pentahbisan seorang bhikkhu (upasampada), maka Sangha minimal harus dihadiri oleh lima orang bhikkhu (pancavagga). Sedang untuk sidang pengadilan bagi seorang bhikkhu yang melakukan pelanggaran tertentu, maka Sangha baru sah jika dihadiri oleh minimal duapuluh orang bhikkhu (visativagga). Inilah yang sebenarnya disebut Sangha. Jadi kalau ada beberapa orang bhikkhu tinggal divihara, tetapi tidak melakukan sesuatu tugas, maka ini tak dapat disebut Sangha.[6]
Sangha yang berarti pesamuan atau persaudaraan para Bhikkhu. Kata Sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok Bhikkhu. Ada 2 jenis Sangha (persaudaraan para Bhikkhu), yaitu:
1.     Sammuti Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian.
2.     Ariya Sangha = persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Yang dimaksut dengan Sangha menurut ajaran agama Budha ialah Pasamuan dari makhluk-makhluk suci yang disebut “Arya Punggala” yaitu mereka yang sudah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai dengan kesatuan pandangan yang bersih dengan sila yang sempurna. Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari tingkat sotapatti, sakadagami, anagami, sampai tingkat arahat.
·         Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari:
§  Sotapatti
Tingkat pertama ini adalah di mana seseorang masih harus menjelma tujuh kali lagi sebelum sampai nirwana. Pada tingkat ini seseorang masih harus berusaha mematahkan belenggu ‘kemayaan’ Akunya (Sakkayaditthi), keragu-raguan (vicikiccha), dan ketahayulan (silabataparamasa) sebelum mereka dapat meningkat ke tingkat kedua yaitu Sakadagami.
§  Sakadagami
Tingkat kedua ini adalah di mana seseorang itu harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat membangkitkan ‘kundalini’ sebelum naik ke tingkat ketiga ‘Anagami’
§  Anagami
Tingkat ketiga kesucian ini adalah dimana seseorang tidak perlu lagi menjelma untuk mencapai nirwana, namun ia harus mematahkan belenggu ‘kamaraga’ (kecintaan indrawi), ‘pategha’ (kemarahan atau kebencian). Setelah ia berhasil mematahkan belenggu tersebut barulah ia naik ke tingkat ‘Arahat’ dan dapat langsung mencapai Nirwana didunia ayau setelah wafatnya.
§  Arahat
Tingkat keempat kesucian ini di mana seseorang itu harus mematahkan belenggu sebagai berikut:
- Keinginan untuk hidup dalam ruparaga (bentuk)
- Keinginan untuk hidup arupara (tanpa bentuk)
- Kecongkakan (mano)
- Kegoncangan batin (udaccha)
- Kekurangan kebijaksanaan (avijja)
Selain empat tingkatan diatas menurut agama Budha masih ada tingkatan ‘Asekha’ atau orang yang sempurna (sabbanu) yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini, di antaranya Sidharta Gautama yang telah mencapai tingkat kebudhaan tanpa harus belajar atau berguru kepada orang lain.[7]
Untuk dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian, maka mereka harus dapat mematahkan 'belenggu' yang mengikat mahluk pada roda kehidupan. Belenggu ini disebut Samyojana. Ada 10 jenis belenggu yang harus dipatahkan bertahap sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian, yaitu:
1.      Sakkayaditthi = kepercayaan tentang adanya diri / kepemilikan / atta yang kekal dan terpisah.
2.      Vicikiccha = keraguan terhadap Buddha dan ajarannya.
3.      Silabbataparamasa = kepercayaan tahyul, bahwa dengan upacara sembahyang saja, dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
4.      Kamachanda / kamaraga = hawa nafsu indera
5.      Byapada / patigha = kebencian, dendam, itikad jahat.
6.      Ruparaga = keinginan untuk hidup di alam yang bermateri halus.
7.      Aruparaga = keinginan untuk hidup di alam tanpa materi.
8.      Mana = kesombongan, kecongkakan, ketinggihatian.
9.      Uddhacca = kegelisahan, pikiran kacau dan tidak seimbang.
10.  Avijja = kegelapan / kebodohan batin.
Mereka yang telah terbebas dari 1 - 3 adalah mahluk suci tingkat pertama (Sotapanna) yang akan tumimbal lahir paling banyak tujuh kali lagi.
Mereka, yang disamping telah terbebas dari 1 - 3, dan telah dapat mengatasi / melemahkan no. 4 dan 5, disebut mahluk suci tingkat kedua (Sakadagami), yang akan bertumimbal lahir lagi hanya sekali di alam nafsu.
Mereka yang telah sepenuhnya bebas dari no. 1 - 5, adalah mahluk suci tingkat ketiga (Anagami), yang tidak akan tumimbal lahir lagi di alam nafsu).
Mereka yang telah bebas dari kesepuluh belenggu tersebut, disebut mahluk suci tingkat keempat (Arahat), yang telah terbebas dari kelahiran dan kematian, yang telah merealisasi Nibbana (Kebebasan Mutlak).
Selain ditinjau dari 'belenggu' yang mengikat pada roda kehidupan yang harus dipatahkan, pengertian mahluk suci ini juga dapat ditinjau dari segi Kekotoran batin (kilesa)-nya, yang telah berhasil mereka basmi. Ada 10 kilesa yang harus dibasmi sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian tersebut, yaitu:
1.      Lobha              = ketamakan
2.      Dosa                = kebencian
3.      Moha               = kebodohan batin
4.      Mana               = kesombongan
5.      Ditthi               = kekeliruan pandangan
6.      Vicikiccha       = keraguan (terhadap hukum kebenaran / Dhamma)
7.      Thina-Middha = kemalasan dan kelambanan batin
8.      Uddhacca        = kegelisahan
9.      Ahirika            = tidak tahu malu (dalam berbuat jahat)
10.  Anottappa       = tidak takut (terhadap akibat perbuatan jahat)
Sotapanna, dapat membasmi no. 5 dan 6; Sakadagami, dapat membasmi nomor 5 dan 6 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Anagami, dapat membasmi nomor 5, 6 dan 2 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Arahatta, dapat membasmi kesepuluh kekotoran batin tersebut.
Di dalam Anguttara Nikaya, Tikanipata 20/267, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sangha, yang disebut Sanghaguna. Ada 9 jenis Sanghaguna, yaitu:
1.      Supatipanno
Bertindak / berkelakuan baik
2.      Ujupatipanno
Bertindak jujur / lurus
3.      Nayapatipanno
Bertindak benar (berjalan di 'jalan' yang benar, yang mengarah pada perealisasian Nibbana)
4.      Samicipatipanno
Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam tindakannya
5.      Ahuneyyo
Patut menerima pemberian / persembahan
6.      Pahuneyyuo
Patut menerima (diberikan) tempat bernaung
7.      Dakkhineyyo
Patut menerima persembahan / dana
8.      Anjalikaraniyo
Patut menerima penghormatan (patut dihormati)
9.      Anuttaram punnakhettam lokassa
Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta.
Dalam Tiratana, yang dimaksud Sangha di sini berarti Ariya Sangha. Jadi berlindung kepada Ariya Sangha. Tidak berlindung kepada Sammuti Sangha; tetapi kita menghormati Sammuti Sangha karena para beliau ini mengemban amanat Sang Buddha sebagai penyebar Dhamma yang jalan hidupnya mengarah ke jalan Dhamma.
Para Bhikkhu Sangha yang selalu kokoh dalam Dhamma-Vinaya adalah merupakan ladang yang subur juga bagi para umat. Oleh karena itu para umat diharapkan juga bersedia berkewajiban menyokong agar para Bhikkhu Sangha kokoh dalam moralitas dan tindak-tanduknya.[8]
Sangha adalah inti masyarakat Budha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu Nirwana. Namun demikian, sangha tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap umat Budha yang bersifat lahir lahiriyah. Hubungan yang terjalin adalah hubungan yang bersifat rohaniah. Anggota sangha adalah teladan dari cara hidup yang suci, menyampaikan dharma atas permintaan umat dan membantu mereka dengan nasihat maupun penerangan batin dalm suka dan duka. Dari umat Budha sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjalikarananiyo) dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
Menurut kepercayaan umat Budha, sangha tidak dapat dipisahkan dari darma dan Budha, karena ketiganya sering digambarkan sebagai berikut: Budha sebagai bulan purnama, dharma sebagai sinarnya yang menyinari dunia, dan sangha sebagai dunia yang berbahagia menerima sinar tersebut”. Dengan kata lain, Budha digambarkan sebagai orang yang membakar hutan, dharma sebagai api yang membakar hutan, yaitu kotoran batin, dan sangha sebagai lapangan terbuka untuk menanam padi, atau jasa, setelah hutan habis dibakar.
Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka bagi setiap umat Budha untuk memasuki dan bergabung di dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertentu. Tahap pertama dimulai ketika umat Budha menerima jubah kuning dan memasuki persaudaraan para bhikku. Tahap ini dikenal dengan saat keluar dari kehidupan umat awam untuk memasuki hidup kewiharaan tanpa memiliki rumah tempat tinggal dan hidup sebagai pertapa. Sebelum secara penuh diterima sebagai seorang bhikku, ia diharuskan untuk menjalani hidup sebagai calon bhikkhu atau sementara dengan mengucapkan dan menepati “Dasa sila atau sepuluh janji”, tekun mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci di bawah asuhan seseorang bhikku atau guru (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah ia dapat melakukan semua itu, maka ia diterima secara penuh sebagai bhikkhu dalam suatu upacara penahbisan (upasampada) yang dihadiri oleh para sesepuh (thera-thera).[9]
·         Kedudukan Sangha
Dalam sejarah agama Budha, sangha dibentuk sendiri oleh Sang Budha beberapa minggu setelah ia mencapai pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan Asaji, yaitu murit-murit Sang Budha yang pertama kali. Di antara mereka, Kondana adalah murit pertama yang mencapai tingkat Arahat.
Sangha adalah inti masyarakat Budha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi yaitu nitwana.
§  Sangha itu tidak berkewajiban apapun terhadap umat Budha yang sifatnya lahiriah. Namun ada hubungan rohaniah di mana para anggota Sangha merupakan:
-          Teladan cara hidup yang suci
-          Menyampaikan dharma atas permintaan umat
-          Membantu umat Budha dengan nasihat atau penerangan batin dalam suka dan  duka.
Sebaliknya dari umat Budha lainnya para anggota Sangha patut menerima pemberian (ahu neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dokkineyyo), penghormatan (anjali karananiyo) dan sebagai tempat menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram panna khettam lokassaa)
§  Sangha tidak dapat dipisahkan dari dharma dan Budha, oleh karena ketiganya adalah ‘Triratna’ yang membentuk kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi dari tiga asas dari Yang Mutlak di dunia. Hubungan ketiga unsur itu adalah:
-          Budha sebagai bulan purnama
-          Dharma sebagai sinar yang menerangi dunia
-          Sangha sebagai dunia yang bahagia menerima sinat itu.
Dengan istilah lain,
-          Budha bagaikan orang yang membakar hutan
-          Dharma bagaikan api yang memebakar hutan (kekotoran batin),
-          Sangha bagaikan padi atau jasa setelah hutan habis dibakar.[10]







Referensi
·         Ali, Mukti H.A., Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Dasa Kausaly Karma Sutra (Dharma Pitaka), Bogor- Jawabarat, 2008.
·         Hadikusuma, Hilman., Antropologi Agama I, Bandung: PT.Citra Aditiya Bakti, 1993.
·         Http://www.buddhistonline.com/
·         Mahatera, Ven Narada., ‘Sang Budha dan Ajaran-Ajarannya I, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992.
·         Stokes, Gillian., Seri Siapa Dia? Budha, Jakarta: Erlangga, 2001.
·         T. Suwarto., Budha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia, 1995.


  








[1] Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H. “Antropologi Agama I” (PT.Citra Aditiya Bakti, Bandung 1993) hal. 234
[2] Mukti Ali “Agama-Agama Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakatra) hal.129-131
[3] Mahatera, Ven Narada., ‘Sang Budha dan Ajaran-Ajarannya I, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992) Hal. 77.
[4] Gillian Stokes, “ Seri siapa Dia? Budha”, (Erlangga, Jakarta, 2001) hal 45-48.
[5] Drs. Suwarto T. “Budha Dharma Mahayana”. (Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia, Jakarta 1995) hal. 51
[6] http://sasanaonline.tripod.com/dhamma/salahpts.htm
[7] Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H. “Antropologi Agama I” (PT.Citra Aditiya Bakti, Bandung 1993) hal. 235-235
[8] http://www.buddhistonline.com/
[9] Mukti Ali “Agama-Agama Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakatra). Hal. 130-131
[10] Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H. “Antropologi Agama I” (PT.Citra Aditiya Bakti, Bandung 1993) hal. 236-237

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar